Sehari sebelum libur panjang, aku mengunjungi beberapa KUA untuk silaturahmi, mengajak kerjasama atas produk pembiayaan di perusahaan tempat aku bekerja. Hal yang belum pernah aku rasakan sebelumnya, berbincang-bincang dengan kepala KUA. Tentu menyenangkan bagiku karena sebuah hal baru yang membuka wawasan baru. Aku dan temanku mengunjungi 3 KUA, salah satunya di kecamatan “P” hehe aku kasih inisial aja ya.
Di benakku, kepala KUA pasti banyak side income-nya hahaha. Bayangkan saja dalam musim nikah (yap, di bulan-bulan yang biasanya akan ada banyak yang mengadakan pernikahan) Kepala KUA beserta staffnya akan sibuk mengatur administrasi dan jadwal mau jadi penghulu di akad yang mana dulu, hmm pusing deh brou.
Salah satu teori di ilmu ekonomi, permintaan atas suatu barang/jasa yang naik akan mengakibatkan harga barang/jasa juga naik apabila ketersediaan barang/SDM tidak naik atau konstan.
Nah itulah yang membuat otakku bilang “kalau
orang berlomba-lomba bisa nikah di bulan yang banyak acara pernikahan tentu
akan tinggi-tinggian fee dong buat pak penghulu/Kepala KUA supaya
memproritaskan meluncur jadi penghulu untuk akad calon pengantin yang membayar
fee lebih tinggi”.
Pemikiran tersebut akhirnya terjelaskan
saat aku dan temanku bertemu salah satu kepala KUA yang dulunya ternyata dosen
di salah satu universitas islam swasta. Namanya juga dosen, tentu sudah punya
jiwa “suka cerita”. Lha wong dulu jaman kuliah aja isinya cerita dosen hampir
70% selama pembelajaran.
Okey jadilah beliau bercerita dan
membenarkan pemikiranku bahwa jadi kepala KUA emang bisa banget berkuasa dapat fee semau dia, tapi beliau menjelaskan
bahwa tanggung jawab lebih besar daripada fee, apalagi tanggung jawabnya dunia
akhirat, bukan cuma soal dirinya sendiri tapi juga pasangan suami istri yang akad, keluarga, serta lingkungan sosial mereka. Duh kak, berattt yachhh.
Nah berikut adalah beberapa highlight topic pembicaraan dengan bapak
kepala KUA kecamatan P.
- 1. Pernikahan Beda Agama
Ada beberapa
kasus saat mejelang pernikahan, mereka yang awalnya berbeda agama menjadi se
agama, demi sebuah ikatan “sah” secara agama dan negara. Tapi setelah mereka
menikah, salah satu entah itu suami atau istri kembali ke agamanya yang dulu
sehingga ikatan pernikahan tersebut menjadi rusak “akad”nya, termasuk anak-anak
yang dilahirkannya menjadi korban rusaknya akad tersebut. Bisa dibayangkan jika
akad sudah rusak, maka anak-anak yang dilahirkan pun juga jadi tidak jelas
nasabnya karena sama saja dengan hasil zina. Solusinya apabila salah satu
murtad maka harus bercerai. Ada beban yang dirasakan sebagai kepala KUA apabila
sudah tahu latar belakang keberlangsungan akad tersebut hanya demi cinta
sepasang insan manusia yang “nggak ada otak” L
Cuma mau sah secara negara, habis itu secara kehidupan keagamaan apa yang
tertulis tidak sesuai dengan yang dilakukan padahal itu adalah mendasar,
seperti misalnya murtad.
- 2. Pernikahan Demi Anak yang Dikandung
Rasanya miris
sekali saat ada mempelai yang melangsungkan akad, namun setelah itu mereka
seperti orang yang saling membenci atau bahkan tidak kenal, seolah akad
tersebut dilakukan hanya demi si jabang bayi yang sudah dikandung L ada beban moral yang
dirasakan oleh Kepala KUA sebagai penghulu atas akad nikah yang berlangsung. Tentu
tidak mudah menciptakan kesadaran masyarakat atas pentingnya pernikahan apalagi
dari sisi agama. Butuh beberapa penyuluh agama serta bantuan tokoh agama serta
metodologi penyampaian agar benar2 nyampe ke setiap orang.
- 3. Pernikahan Siri
Apa bedanya
pernikahan siri dan prostitusi yang dihalalkan asal ada ustadz sebagai media
dalam akad nikah yang katanya sah secara agama? Kalau menurut kepala KUA di
kecamatan P, nikah siri hanyalah kedok untuk melemahkan hak perempuan. Lha kalau
sudah cinta kenapa tidak secara agama dan negara saja. Kalau nikah siri Cuma begitu
doang, sama saja dong manggil ustadz untuk melegalkan secara agama di kawasan
prostitusi supaya hubungan mereka halal. Duhhh. Kebanyakan fenomena nikah siri
itu untuk menutupi sesuatu yang negatif, jadi kalau ada yang ngajak nikah tapi
nikah siri dulu, duh hati-hati ya jaman sekarang sosok laki-laki macam impostor
bisa menjelma dan merangkai kata tuk buatmu percaya atas cinta (azeeek).
Tentu ada beban mental, moral, dan perasaan atas sebuah pernikahan yang berlangsung. Ada sekelibat rasa berdosa saat akad yang dilangsungkan memiliki latar belakang yang tidak baik serta sudah tahu bahwa setelah pernikahan tersebut akan menimbulkan banyak mudharat.
Sebagai Kepala
KUA tentu akan melangsungkan ijab kabul sesuai dengan
peraturan pemerintah yang berlaku, namun kadang banyak fenomena yang menyangkut
kemudharatan/kekacauan yang hanya bisa dipahami secara lingkup sosial-regional
yang telah ataupun akan terjadi. Kalau menolak untuk mengakadkan kok ya tidak
menjalankan tugas dan tanggung jawab, kalau mengakadkan kok ya beban moral
takut dosa secara agama, lhawong sudah tau endingnya menimbulkan kekacauan. Tentu
perang batin akan selalu terjadi di kondisi-kondisi yang tidak mengenakkan atas
ketimpangan tugas dan tanggung jawab.
Wallahu alam.
0 Komentar